
Rendaman emas merupakan metode pemurnian emas yang umumnya menggunakan bahan kimia berbahaya seperti sianida atau merkuri. Metode ini tidak hanya ilegal jika dilakukan tanpa izin, tetapi juga sangat membahayakan lingkungan hidup serta kesehatan masyarakat sekitar. Aktivitas rendaman di Desa Kubung dilaporkan telah merambah ke area permukiman warga dan lahan pertanian, menimbulkan kekhawatiran serius terhadap kontaminasi air dan tanah.
Sejumlah warga Desa Kubung menyampaikan bahwa dalam beberapa bulan terakhir, jumlah rendaman ilegal meningkat drastis. Bahkan, berdasarkan pantauan warga, terdapat lebih dari sepuluh titik rendaman aktif yang beroperasi siang dan malam. Para pelaku diduga kuat berasal dari luar desa dan bekerja sama dengan oknum lokal yang menyediakan lahan dan fasilitas.
“Ini bukan hanya soal tambang, ini sudah soal kelangsungan hidup kami. Air di sungai sudah tercemar, tanaman kami banyak yang mati, dan kami takut anak-anak kami ikut terkena dampaknya,” ungkap seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
Ironisnya, aktivitas tersebut berlangsung tanpa adanya pengawasan ketat dari aparat penegak hukum, seakan-akan dibiarkan begitu saja. Hal inilah yang membuat masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap upaya pemerintah dalam menjaga kelestarian lingkungan dan penegakan hukum.
Menanggapi situasi ini, sejumlah aktivis lingkungan dan tokoh masyarakat mendesak Kapolres Halmahera Selatan untuk tidak tinggal diam. Mereka meminta agar aparat kepolisian segera melakukan investigasi dan operasi penertiban terhadap seluruh aktivitas rendaman ilegal di wilayah tersebut.
Ketua LSM Peduli Alam Halsel, Andi menegaskan bahwa tindakan tegas Kapolres sangat diperlukan untuk menghentikan kerusakan lingkungan yang terus berlangsung.
“Kapolres harus turun langsung. Jangan sampai masyarakat menilai bahwa hukum hanya berlaku untuk kalangan kecil saja. Jika tambang ilegal dibiarkan terus, maka ini akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Halsel,” ujar Andi.
Menurut Andi, pihaknya telah mengantongi sejumlah bukti berupa dokumentasi aktivitas rendaman, serta identitas beberapa pihak yang diduga menjadi pengelola kegiatan ilegal tersebut. Ia pun berencana menyerahkan data tersebut ke pihak kepolisian dan juga melaporkannya ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Selain merusak lingkungan, aktivitas rendaman ilegal ini juga memicu konflik sosial di tingkat masyarakat. Terjadi ketegangan antara warga yang menolak tambang dengan mereka yang mendukung atau terlibat langsung dalam aktivitas tersebut. Tak jarang, perdebatan memanas dan nyaris berujung pada bentrokan fisik.
Sementara itu, dari sisi ekologis, kawasan sekitar Desa Kubung yang dulunya hijau dan produktif kini mulai rusak. Air sungai berubah warna, ikan-ikan menghilang, dan lahan pertanian terancam gagal panen akibat kontaminasi kimia.
Pakar lingkungan dari Universitas Khairun Ternate, Dr. Syahrul La Ode, menjelaskan bahwa dampak jangka panjang dari aktivitas rendaman ilegal bisa sangat fatal. “Merkuri dan sianida dapat bertahan dalam tanah dan air selama bertahun-tahun. Paparan bahan kimia ini bisa menyebabkan gangguan saraf, cacat lahir, bahkan kematian jika dikonsumsi dalam jumlah tertentu,” jelasnya. (23/4/2025)
Di tengah semakin meluasnya permasalahan ini, masyarakat juga mendesak Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan untuk tidak menutup mata. Bupati Halsel diminta segera membentuk tim terpadu yang melibatkan Dinas Lingkungan Hidup, Satpol PP, serta aparat keamanan untuk membersihkan kawasan tambang ilegal dari aktivitas rendaman.
Jika dibiarkan terus-menerus, maka dikhawatirkan Desa Kubung dan sekitarnya akan mengalami krisis lingkungan yang sulit dipulihkan. Apalagi dengan lemahnya pengawasan dari instansi teknis, celah bagi pelaku tambang ilegal untuk terus beroperasi semakin terbuka lebar.
Masyarakat Desa Kubung kini hanya bisa berharap adanya langkah konkret dari aparat dan pemerintah. Mereka tidak menolak pembangunan atau tambang, selama itu legal, berizin, dan mengedepankan aspek keberlanjutan lingkungan. Namun, jika tambang dikelola secara ilegal dengan cara-cara yang merusak dan membahayakan, maka masyarakat merasa wajib bersuara.
“Ini tanah kami, ini air kami, ini hidup kami. Kami tidak ingin warisan untuk anak cucu kami adalah kerusakan dan penyakit,” tutup seorang tokoh masyarakat setempat dengan nada prihatin. (Red)