Manado, Malutline – 26 Juni 2025  Felisha Hafi Aswin, balita perempuan berusia 10 bulan asal Desa Gane Dalam, Kecamatan Gane Barat, Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel), saat ini tengah menjalani perawatan intensif akibat penyakit hidrosefalus di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Prof. Dr. R.D. Kandou, Manado, Sulawesi Utara.

Felisha adalah anak pertama dari pasangan Aswin M. Sangaji, seorang petani, dan Fistri Haras, ibu rumah tangga. Ia mulai menunjukkan gejala penyakit sejak usia 4 bulan dan hingga kini telah berjuang selama 6 bulan melawan hidrosefalus  kondisi medis serius yang menyebabkan penumpukan cairan di otak.

Menurut keterangan dari nenek dan kakeknya, Masria Harap dan Mahmud Wahid, Felisha awalnya mendapat perawatan tradisional dan pengobatan alternatif. Karena kondisi tak kunjung membaik, ia dirujuk ke Puskesmas Gane Dalam, lalu ke RSUD Labuha, dilanjutkan ke RS Siloam untuk rawat jalan. Ketika kondisinya memburuk dengan demam tinggi, ia dibawa ke IGD RSUP Kandou Manado dan telah menjalani rawat inap selama 13 hari, menunggu jadwal tindakan operasi.

Sayangnya, hingga hari ini, Felisha harus berjuang sendiri tanpa dukungan nyata dari Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan maupun Pemerintah Provinsi Maluku Utara. Diduga kuat, belum ada informasi resmi yang diterima Pemkab Halsel terkait kondisi darurat kesehatan yang dialami Felisha. Padahal, sesuai regulasi, pemerintah daerah memiliki tanggung jawab sosial terhadap warganya, terutama keluarga dengan keterbatasan ekonomi seperti keluarga Felisha.

Felisha berasal dari keluarga kurang mampu. Ayahnya hanya seorang petani dengan penghasilan terbatas, sementara ibunya tidak bekerja. Biaya pengobatan di luar daerah tentu sangat memberatkan, terlebih untuk tindakan medis lanjutan seperti operasi. Dukungan pemerintah, baik dalam bentuk layanan kesehatan gratis, bantuan transportasi medis, maupun dukungan logistik keluarga pasien, sangat dibutuhkan.

Masyarakat Halmahera Selatan dan sekitarnya diajak turut serta membantu keluarga Felisha, baik secara moral maupun materiil. Uluran tangan dari sesama warga dapat menjadi jembatan harapan bagi kesembuhan gadis kecil ini. Sementara itu, perhatian dan respon cepat dari Pemkab Halsel serta Pemprov Maluku Utara sangat dinantikan.

“Dek Felisha pasti sembuh.”

Kalimat itu bukan sekadar harapan, tetapi seruan solidaritas bagi seorang anak bangsa yang berhak mendapatkan hak hidup sehat dan masa depan yang cerah. Semoga pemerintah segera turun tangan. (Red)

LABUHA, Malutline — Pelayanan medis di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Labuha, Kabupaten Halmahera Selatan, kembali menuai sorotan. Warga mengeluhkan tindakan dokter yang memulangkan seorang pasien balita berinisial A.H yang dinilai belum sembuh total, meski masih menunjukkan gejala demam dan lemas.

Keluhan ini disampaikan oleh pihak keluarga pasien yang kecewa karena anak mereka yang baru berusia sekitar 1 tahun 7 bulan hanya mendapatkan perawatan kurang dari delapan jam pada kunjungan pertama.

Berdasarkan keterangan dokter, hasil laboratorium menunjukkan kondisi normal dan suhu tubuh pasien telah menurun, sehingga A.H diizinkan pulang hanya dengan resep obat.

Namun, sesampainya di rumah, kondisi pasien kembali memburuk. A.H mengalami demam tinggi dan tubuh panas yang tidak stabil. Keluarga pun kembali membawa pasien ke RSUD Labuha pada Minggu, 22 Juni 2025. Akan tetapi, pasien hanya dirawat sekitar enam jam dan belum sempat menghabiskan satu botol cairan infus, dokter kembali meminta pasien untuk pulang.

“Anak kami masih lemas, demamnya naik turun setiap jam. Tapi dokter langsung suruh pulang padahal jelas-jelas anak ini belum sembuh,” ujar salah satu anggota keluarga pasien.

Insfus belum habis, pasien langsung disuruh pulang.

Pasien A.H diketahui sempat dirawat di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Labuha. Menurut pihak keluarga, tindakan medis yang terkesan terburu-buru ini sangat mengecewakan, terlebih kondisi pasien yang masih sangat kecil dan rentan.

Pihak keluarga berharap RSUD Labuha tidak lagi memberikan pelayanan yang terkesan terburu-buru dalam menangani pasien, terutama balita. Mereka meminta agar pasien diberikan perawatan hingga benar-benar pulih dan layak dipulangkan.

“Kalau belum sembuh, jangan dulu disuruh pulang. Jangan tunggu pasien tambah parah baru ditangani serius. Kami hanya minta anak kami dirawat sampai sembuh total,” lanjutnya.

Hingga berita ini diturunkan, pihak RSUD Labuha belum memberikan klarifikasi resmi terkait keluhan warga tersebut. Namun warga berharap instansi terkait, termasuk Dinas Kesehatan Halmahera Selatan, segera mengevaluasi sistem pelayanan medis di RSUD Labuha agar kejadian serupa tidak terulang. (Red)

Halsel Malutline com-Pernyataan “pasien di kecamatan Obi kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara didominasi ISPA” berarti bahwa di pulau Obi, jumlah pasien yang menderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) lebih banyak dibandingkan dengan jenis penyakit lainnya. ISPA adalah infeksi yang menyerang saluran pernapasan atas dan dapat disebabkan oleh berbagai virus, bakteri, atau jamur. 

ISPA adalah penyakit umum, penyakit yang terjadi, terutama pada musim hujan atau saat perubahan cuaca, Penyebab ISPA, ISPA dapat disebabkan oleh berbagai macam virus, bakteri, atau jamur. Contohnya, virus influenza, rhinovirus, atau adenovirus yang memiliki Gejala ISPA bervariasi, tetapi umumnya meliputi batuk, pilek, sakit tenggorokan, demam, dan nyeri kepala, Penularan ISPA dapat menular melalui kontak dengan percikan air liur penderita saat batuk atau bersin, Pencegahan ISPA dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan diri, mencuci tangan, menghindari kontak dengan orang yang sakit, dan memperkuat daya tahan tubuh dengan konsumsi makanan bergizi.

Mengingat pernyataan “pasien di Obi didominasi ISPA”, hal ini menunjukkan bahwa ISPA mungkin menjadi masalah kesehatan utama di pulau tersebut, dan perlu ada perhatian lebih dari Perusahan PT. HARITA Group terhadap pencegahan dan penanganan ISPA di wilayah tersebut, karena ini di sebabkan oleh Pencemaran lingkungan di wilayah tambang nikel Pulau Obi, Maluku Utara, menyusul laporan investigatif yang mengungkap adanya kandungan zat berbahaya Kromium-6 (Cr6) di sumber mata air yang digunakan masyarakat oleh masyarakat Desa kawasi yang mengancam kesehatan, keselamatan dan nyawa warga sekitar lingkar tambang nikel PT. Harita group di kecamatan Obi kabupaten Halmahera Selatan.

Hal ini berdasarkan Laporan yang dirilis oleh jaringan media investigatif internasional yang terdiri dari The Gecko Project, Deutsche Welle (DW), OCCRP, KCIJ Newstapa, dan The Guardian, Mereka menyebut bahwa zat beracun Cr6 telah mencemari wilayah sekitar operasi PT Harita Grup, perusahaan tambang nikel yang telah beroperasi lebih dari satu dekade di Pulau Obi yakni Kromium-6 dikenal sebagai zat kimia yang sangat berbahaya, Dalam paparan jangka panjang, Cr6 dapat menyebabkan gangguan serius pada organ vital seperti hati dan ginjal, serta menimbulkan iritasi kulit, kerusakan gigi, hingga meningkatkan risiko kanker.

Afrisal Kasim, Ketua Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup HMI Cabang Bacan, menilai temuan ini sebagai ancaman serius yang tidak bisa diabaikan, Ia mendesak pemerintah daerah dan lembaga berwenang untuk segera melakukan investigasi lapangan dan mengambil langkah mitigasi “Kami menuntut respons cepat dan tanggap dari Pemerintah Daerah kabupaten Halmahera Selatan karena Pencemaran ini mengancam nyawa masyarakat karena sumber air utama tersebut di konsumsi langsung oleh masyarakat dan berpotensi menjadi bencana kemanusiaan jika tidak segera ditangani,” ujarnya.

Afrisal juga mengkritik sikap PT Harita Grup yang dinilai tidak menunjukkan tanggung jawab lingkungan, Meskipun telah mengetahui resiko pencemaran, perusahaan tersebut tetap memperluas wilayah operasinya dan bahkan membantah tudingan pencemaran lingkungan, Menurutnya, sikap yang di tujukan oleh pihak PT. Harita Group tersebut menunjukkan bahwa keselamatan masyarakat dan pekerja tidak menjadi prioritas, melainkan hanya kepentingan bisnis semata yang menguntungkan pihak perusahan dan mengorbankan masyarakat lingkar tambang.

Kasus ini kembali disoroti karena urgensi kehadiran negara dalam mengawasi operasi industri ekstra-aktif di wilayah-wilayah rawan konflik sumber daya alam, Pemerintah provinsi dan pusat didorong untuk turun tangan, memastikan keselamatan warga, serta memulihkan sumber-sumber kehidupan yang terancam rusak permanen “Kami tidak menolak investasi, Tapi investasi yang mengorbankan kesehatan masyarakat adalah bentuk ketidakadilan yang nyata, Negara harus hadir Jika pihak PT Harita grup tidak lakukan pencegahan maka pihaknya mendesak PT. Harita Group angkat kaki dari wilayah tambang pulau Obi dan menghentikan aktifitas produksi tambang,” pungkas Afrisal.

Sementara itu kepala Puskesmas kecamatan Obi kabupaten Halmahera Selatan Sumarni Malang S.tr. keb saat di konfirmasi Malutline Jumat (10/05/2025) melalui sluran teleponnya mengatakan “terkait dengan persoalan pencemaran lingkungan Cromium cr 6 oleh PT. Harita Group yang mengakibatkan pasien di Obi wilayah lingkar tambang Obi yang sebagain besar terpapar (ISPA) akut tersebut kepala Puskesmas tidak mau memberikan komentar dan meminta wartawan konfirmasi langsung ke pihak Dinas kesehatan kabupaten Halsel karena semua data suda masuk di dinas kesehatan dari tahun ke tahun,” pungkasnya. (Red)

Jayapura | MalutLine.Com

Penyakit HIV-AIDS di Papua semakin memprihatinkan karena jumlah penderita HIV/AIDS dari tahun ke tahun terus meningkat sejak tahun 1979. Kondisi budaya masyarakat Papua dan rendahnya tingkat pendidikan kesehatan reproduksi turut menunjang risiko terjangkitnya penyakit HIV/AIDS di Papua. Faktor pemicu lain misalnya faktor ekonomi, gaya hidup dan broken home. (19/04/2025)

Pemerintah telah berusaha dengan menetapkan kebijakan nasional ABC atau abstinency, be faithful dan condom, dalam rangka penanggulangan HIV-AIDS, namun  belum menunjukkan hasil yang bermakna, bahkan beberapa penelitian merekomendasikan adanya penelitian  tentang model lokal penanggulangan HIV-AIDS di Papua. Sesungguhnya hal   inilah yang mendorong peneliti untuk   mencari bentuk model lokal dalam kaitannya dengan penanggulangan HIV/AIDS di Papua.

Sekretaris Dinas Kesehatan(Dinkes ) Provinsi Papua, dr Aaron Rumainum, M.Kes kepada media mengatakan data Dinkes hingga 31 Desember 2024 tercatat ada 21.129 orang dengan kasus HIV/AIDS di Papua,  angka tersebut tercatat pengidap HIV/AIDS berjenis kelamin perempuan berjumlah 11.644 orang sedangkan untuk laki-laki  berjumlah 9.463 orang.

” Angka penyebaran HIV/AIDS di Papua ini tak lagi bisa dipandang sebelah mata ,”ungkapnya.( Kamis,17 April 2025)

Sekretaris Dinkes menjelaskan bahwa  angka pengidap HIV/AIDS perempuan   lebih banyak karena mereka enggan   memeriksakan diri ke pusat pelayanan    kesehatan dibanding laki-laki.

” Dari sembilan kabupaten kota di  Papua, Kota Jayapura paling banyak ditemukan kasus HIV/AIDS yaitu 8.864 kasus, Biak sebanyak 3.374 kasus, Jayapura 5.480 kasus, Keerom 522 kasus, Yapen 2.069 kasus, Mamberamo Raya 76 kasus, Sarmi 205 kasus, Supiori 253 kasus, Waropen 286 kasus,” bebernya

dr Aaron Rumainum, M.Kes, menerangkan bahwa penyebab angka pengidap HIV/ AIDS untuk kaum perempuan tinggi di Papua selain enggan memeriksakan diri di fasilitas kesehatan, mereka juga tidak rutin melakukan pengobatan secara tuntas dengan baik.

” Untuk fasilitas penyediaan stok kondom perempuan bagi wanita, karena pemerintah tidak menyediakan itu, dan juga tidak ada sosialisasi penggunaan kondom perempuan kepada kaum perempuan. Hanya menyediakan kondom  untuk laki-laki. Hal-hal seperti ini sangat rawan sekali dan berpotensi dapat menularkan HIV/AIDS ke orang lain,” ujarnya.

dr. Aaron  Rumainum, M.Kes menghimbau kepada masyarakat peduli di Papua untuk  mengurangi perilaku risiko tinggi penularan HIV/AIDS.

” Misalkan penggunaan narkoba jarum suntik yang bergantian, perilaku hubungan seksual yang bertukar pasangan, dan menggunakan kondom saat berhubungan sex bebas juga satu hal yang lebih penting lagi jangan takut memeriksakan diri ke pusat layanan kesehatan HIV / AIDS yang ada di Papua,” harapnya.

Sementara itu Ketua Garuda Nusantara Kota Jayapura, Andi Askari Mallawa.S.kom selaku pemerhati masalah sosial di kota Jayapura menghimbau, kepada pemerintah  khususnya Dinas Kesehatan Papua Kota Jayapura  agar menyediakan stok kondom perempuan.

” Kami selaku pemerhati masalah sosial menghimbau kepada Pemkot Jayapura dalam hal ini Dinkes untuk menyiapkan stok kondom perempuan agar sedikit banyak dapat membantu mengurangi penularan HIV/AIDS,” tutupnya. (Vicky Ririhena)