
Praktisi Hukum dan Penulis Aktif di Media Sosial
“𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢 𝘪𝘯𝘴𝘵𝘪𝘵𝘶𝘴𝘪 𝘳𝘦𝘱𝘶𝘣𝘭𝘪𝘬 𝘪𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢, 𝘥𝘢𝘯 𝘰𝘳𝘨𝘢𝘯𝘪𝘴𝘢𝘴𝘪 𝘬𝘦𝘮𝘢𝘴𝘺𝘢𝘳𝘢𝘬𝘢𝘵𝘢𝘯 𝘢𝘥𝘢 𝘰𝘬𝘯𝘶𝘮 𝘱𝘳𝘦𝘮𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢 𝘤𝘶𝘮𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘥𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘱𝘳𝘦𝘮𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘥𝘢𝘴𝘪 (𝘬𝘦𝘳𝘢 𝘱𝘶𝘵𝘪𝘩 𝘥𝘢𝘯 𝘱𝘳𝘦𝘮𝘢𝘯 𝘫𝘢𝘭𝘢𝘯𝘢𝘯 ( 𝘴𝘢𝘮𝘱𝘢𝘩 𝘮𝘢𝘴𝘺𝘢𝘳𝘢𝘬𝘢𝘵) ”
Dalam riuhnya kehidupan demokrasi yang kerap kali diguncang oleh polarisasi dan retorika berlebihan, kita mendengar lagi seruan pembubaran organisasi kemasyarakatan (ormas) dengan alasan adanya oknum yang diduga melakukan pelanggaran hukum. Narasi ini bukan saja tidak sehat dalam perdebatan publik, melainkan juga menyalahi prinsip dasar konstitusi negara hukum. Ketika satu dua individu menyimpang, bukan berarti institusi harus dimatikan. Ini adalah kekeliruan konstitusional yang perlu diluruskan.
Dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul. Hak ini tidak boleh digugurkan hanya karena beberapa oknum dalam sebuah organisasi bertindak di luar batas hukum. Hukum yang sehat menuntut pertanggungjawaban secara individual, bukan kolektif. Maka, menyamaratakan kesalahan individu untuk membubarkan suatu organisasi adalah pelanggaran terhadap asas due process of law dan prinsip equality before the law.
Mari kita tarik contoh. Ketika sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat terbukti korupsi, tidak pernah sekalipun kita mendengar usulan pembubaran DPR. Ketika ada jaksa yang menyalahgunakan wewenang, tidak serta-merta Kejaksaan Agung dibubarkan. Begitu pula saat aparat kepolisian melakukan kekerasan atau pelanggaran HAM, publik menuntut reformasi internal, bukan pembubaran lembaga.
Kita harus bersikap jernih dalam melihat realitas. Tidak ada satu pun institusi atau organisasi yang sepenuhnya steril dari penyimpangan oknum. Namun, kita juga tahu bahwa kesalahan individu bukanlah alasan sah secara konstitusional untuk membubarkan institusi. Ambil contoh institusi kepolisian—ketika seorang anggota polisi melakukan penembakan membabi buta atau terlibat dalam korupsi, bukan berarti seluruh institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia kehilangan legitimasi. Yang tepat adalah menegakkan hukum terhadap pelaku, tanpa menghapus keberadaan institusi yang secara struktural sah dan memiliki fungsi vital menjaga ketertiban umum.
Hal yang sama berlaku pada Kejaksaan. Jika ditemukan jaksa menyalahgunakan wewenang atau menerima gratifikasi, apakah wajar jika kita menyerukan pembubaran Kejaksaan? Tentu tidak. Langkah yang rasional adalah memperkuat mekanisme pengawasan internal dan memastikan bahwa sanksi terhadap pelanggaran dijalankan secara tegas. Dalam sistem peradilan, keberadaan hakim yang korup juga tidak serta-merta menjadi dasar untuk membubarkan lembaga peradilan itu sendiri. Kehadiran sistem hukum harus tetap berjalan, karena yang dibutuhkan adalah pembaruan internal, bukan pemusnahan institusional.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang didirikan untuk memberantas kejahatan luar biasa, juga tak luput dari tudingan pelanggaran etik oleh oknumnya sendiri. Namun, tidak ada ruang legal yang membenarkan pembubaran lembaga antirasuah itu hanya karena kesalahan personal. Yang mendesak dilakukan adalah memperbaiki sistem kontrol, menjaga integritas kelembagaan, dan membuka akses transparansi kepada publik.
Demikian pula Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), lembaga yang semestinya menjadi wakil suara rakyat, justru berkali-kali diterpa skandal korupsi oleh sejumlah anggotanya. Apakah kemudian DPR layak dibubarkan? Tentu tidak. Proses hukum terhadap individu pelanggar adalah langkah konstitusional yang seharusnya dikedepankan, bukan penghancuran lembaga demokrasi yang menjadi simbol representasi rakyat.
Dalam dunia profesi, organisasi advokat (OA) juga menghadapi tantangan serupa. Beberapa advokat diketahui melanggar kode etik, melakukan gratifikasi, bahkan terlibat dalam praktik tidak profesional. Namun, organisasi advokat tetap memiliki tempat dalam sistem peradilan dan perlindungan hukum. Mekanisme penegakan disiplin melalui Dewan Kehormatan Advokat adalah solusi yang sah, bukan pembubaran.
Terakhir, menyasar organisasi kemasyarakatan (ormas) dengan alasan keberadaan oknum menyimpang merupakan langkah yang bias dan penuh muatan politis. Ormas didirikan berdasarkan konstitusi dan tunduk pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013. Jika terdapat pelanggaran, negara wajib melakukan pembinaan, bukan pembubaran. Menutup organisasi secara total karena tindakan segelintir anggotanya justru melemahkan semangat demokrasi dan partisipasi publik yang sedang tumbuh di tengah masyarakat.
Standar ganda yang diterapkan terhadap ormas mencerminkan bias politik sekaligus kekeliruan logika hukum. Ormas adalah bagian integral dari sistem sosial yang dilindungi hukum, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Pembubaran ormas secara sepihak bukan hanya melanggar prinsip legalitas, tetapi juga membuka ruang represi terhadap kebebasan sipil.
Harus dipahami bahwa dalam sistem hukum Indonesia, penindakan terhadap pelanggaran dilakukan secara proporsional dan berbasis bukti. Jika ada anggota ormas yang melakukan tindak pidana, aparat penegak hukum harus menindak mereka sesuai ketentuan pidana yang berlaku. Mekanisme ini mencerminkan bahwa keadilan tidak boleh menjadi alat kekuasaan untuk meredam kritik atau membungkam suara masyarakat.
Menjadikan keberadaan ormas sebagai ancaman hanya karena perilaku oknum adalah pendekatan anti-demokratis. Alih-alih memperkuat supremasi hukum, narasi pembubaran justru merusak institusionalisasi masyarakat sipil yang sehat. Dalam negara demokrasi, pembinaan organisasi, penguatan regulasi, serta transparansi internal jauh lebih bijak dibanding penghancuran yang didasarkan pada sentimen sesaat.
Negara semestinya bertindak sebagai pembina, bukan algojo. Dalam hal ini, pemerintah memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa regulasi dan mekanisme pengawasan terhadap ormas berjalan sesuai asas hukum yang adil dan proporsional. Pendekatan represif tidak hanya mencederai konstitusi, tetapi juga menciptakan preseden buruk bagi masa depan demokrasi.
Ormas tidak sempurna. Seperti halnya institusi negara lainnya, mereka juga memiliki potensi disusupi oleh individu-individu yang menyimpang. Namun, kehadiran ormas sebagai kanal aspirasi masyarakat, kontrol sosial, dan penggerak perubahan sosial tidak bisa disangkal. Dalam banyak kasus, ormas hadir di ruang-ruang kosong yang tidak dijangkau negara—membantu korban bencana, mengadvokasi hak rakyat kecil, dan menjaga moral publik.
Membubarkan ormas karena ulah oknum bukanlah jawaban. Solusi yang tepat adalah penegakan hukum yang transparan, pembinaan berkelanjutan, serta evaluasi regulatif yang objektif. Dalam hukum, keadilan ditegakkan bukan dengan cara membakar rumah karena seekor tikus, melainkan dengan menangkap tikus itu dan memperbaiki rumahnya agar tidak menjadi sarang kejahatan.