Oleh: Sitti Nurlyanti Samwar

Perang melawan narkoba di Indonesia terus berlanjut, namun hasilnya masih jauh dari harapan. Berdasarkan data terbaru dari Bareskrim Polri, Direktorat Bea Cukai, dan Direktorat Jenderal Imigrasi, sebanyak 6.881 kasus narkotika berhasil diungkap hanya dalam kurun waktu dua bulan pertama tahun 2025. Dari kasus tersebut, sebanyak 9.586 tersangka ditangkap, dengan barang bukti narkoba yang nilainya fantastis.

Meski aparat tampak bekerja keras, nyatanya peredaran narkoba masih merajalela. Bahkan, Indonesia bukan hanya menjadi pasar potensial, melainkan juga diduga kuat sebagai basis produksi narkoba. Hal ini tak lepas dari fakta bahwa struktur perdagangan narkoba di Indonesia sangat menarik bagi sindikat internasional. Harga jual sabu-sabu yang melonjak tinggi di dalam negeri menjadi magnet tersendiri. Jika di Tiongkok harga sabu hanya Rp20.000, di Indonesia bisa mencapai Rp1,5 juta per gram!

Jumlah penduduk yang besar, wilayah yang luas dan terbuka, serta lemahnya pengawasan menjadikan negeri ini lahan subur bagi para bandar dan pengedar narkoba. Ironisnya, demokrasi dan sistem kapitalisme yang dianut negara justru memberi ruang bagi kejahatan ini untuk berkembang.

Kapitalisme dan Sekularisme: Biang Kerok Hancurnya Generasi

Bukan hanya angka yang mengkhawatirkan, dampak narkoba terhadap generasi muda jauh lebih mengerikan. Zat adiktif ini bekerja merusak sistem saraf secara perlahan, mulai dari kerusakan ringan hingga gangguan permanen yang bisa berujung pada kematian. Bagi remaja, ini berarti masa depan yang runtuh sebelum sempat dibangun.

Namun, penyebab utama maraknya penyalahgunaan narkoba tidak bisa dilepaskan dari sistem kehidupan sekuler-kapitalistik yang diadopsi negara. Dalam sistem ini, nilai-nilai agama dikesampingkan, sementara kebebasan tanpa batas justru dijunjung tinggi. Remaja dibiarkan mencari jati diri dalam lingkungan yang miskin iman dan moral, diwarnai budaya permisif, hedonisme, dan tekanan sosial yang mengikis spiritualitas.

Lebih ironis lagi, upaya pembinaan berbasis nilai Islam sering dicurigai sebagai bibit radikalisme. Kegiatan keagamaan yang justru bisa membentengi generasi dari narkoba, malah diberangus dengan dalih deradikalisasi. Ini menciptakan iklim islamofobia yang membuat remaja menjauh dari masjid dan ilmu agama.

Paradigma Keliru, Solusi Semu

Gagalnya pemberantasan narkoba juga tak lepas dari kesalahan paradigma yang diadopsi dari sistem kapitalisme global Badan dunia seperti UNODC dan negara-negara Barat memandang penyalahgunaan narkoba sebagai isu kesehatan, bukan kejahatan. Rehabilitasi dipilih ketimbang hukuman, dengan dalih pendekatan kemanusiaan dan kesehatan publik.

Sayangnya, paradigma ini diadopsi mentah-mentah oleh Indonesia. Akibatnya, pengguna narkoba tidak pernah benar-benar jera, sementara para pengedar tetap bebas mengedarkan barang haram dengan berbagai celah hukum. Bahkan, **oknum aparat pun terlibat menjual barang bukti narkoba, menguatkan dugaan bahwa sistem ini telah rapuh dan tercemar dari dalam.

Islam: Solusi Paripurna untuk Masalah Narkoba

Berbeda dengan sistem sekuler, Islam memandang narkoba sebagai kejahatan besar yang harus ditindak tegas. Dalil keharamannya sangat jelas, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS Al-A’raf: 157, serta hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Muslim: “Setiap yang memabukkan adalah haram.”

Dalam pandangan Islam, pengguna narkoba bukan sekadar korban, tetapi juga pelaku kejahatan yang harus dihukum. Hukuman dalam Islam bertujuan memberi efek jera dan mencegah kejahatan serupa terulang. Para ulama bahkan mengqiyaskan narkoba dengan khamar, sehingga pengguna maupun pengedar layak mendapat sanksi berat, hingga hukuman mati dalam kasus tertentu .

Islam juga menyediakan pendidikan dan pembinaan akidah sejak dini sebagai bagian integral dari pencegahan. Remaja diarahkan agar memahami tujuan hidup, menginternalisasi iman, dan hidup dalam komunitas yang mendukung kebaikan. Ini adalah strategi preventif yang tidak dimiliki sistem kapitalisme

 

Oleh : Rifaldi Takdir
Ketum Cabang : HMP2K PC. Jakarta

Pemerintahan desa adalah garda terdepan dalam pelayanan publik, pembangunan lokal, dan penegakan etika pemerintahan di tingkat akar rumput. Karena itu, kami, Himpunan Mahasiswa Pemuda Pelajar Kurunga (HMP2K) PC. Jakarta menyambut baik dan mendukung penuh pernyataan tegas Plt. Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Halmahera Selatan, Bapak M. Zaki Abdul Wahab, dalam kegiatan Bimtek Siskeudes 2.0.7 yang berlangsung pada 16 Mei 2025.

Tiga poin penting terkait kedisiplinan dan etika aparatur desa yakni kewajiban berseragam, pembatasan waktu kunjungan ke ibu kota kabupaten, dan pengawasan tempat tinggal selama berada di Labuha kami nilai sebagai langkah maju dan sangat relevan dengan kondisi pemerintahan desa saat ini yang membutuhkan reformasi sikap dan tata kelola.

Namun, di tengah semangat pembenahan ini, kami dengan sangat prihatin menyampaikan bahwa Kepala Desa Kurunga justru menjadi contoh nyata pelanggaran disiplin yang paling berat. Yang bersangkutan telah meninggalkan desa lebih dari SEPULUH BULAN, bukan hanya sepuluh hari seperti batas maksimal yang ditetapkan oleh DPMD.

Kondisi ini bukan hanya mencederai semangat reformasi desa yang sedang digalakkan, tetapi juga menjadi pengkhianatan terhadap amanah masyarakat Kurunga yang telah mempercayakan jabatan strategis itu kepadanya. Selama ketiadaan tersebut, roda pemerintahan desa berjalan tanpa arah, pelayanan publik terhenti, dan pembangunan desa nyaris lumpuh.

Kami menilai, pelanggaran ini tidak bisa dibiarkan. Pembiaran terhadap tindakan seperti ini akan menurunkan wibawa pemerintah daerah, menciptakan presiden buruk, serta menumbuhkan ketidakpercayaan publik terhadap komitmen reformasi yang sedang digulirkan.

Oleh karena itu, kami menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Mendukung penuh langkah-langkah Plt. Kepala DPMD dalam menegakkan kedisiplinan aparatur desa se-Kabupaten Halmahera Selatan.

2. Mendesak Bupati Halmahera Selatan agar segera mengevaluasi dan menjatuhkan sanksi tegas terhadap Kepala Desa Kurunga, termasuk pemecatan dari jabatan, karena telah melanggar secara terang-terangan kebijakan pemerintah daerah.

3. Menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat Kurunga untuk tidak tinggal diam dan ikut mengawasi jalannya pemerintahan desa demi kepentingan bersama.

Reformasi pemerintahan desa tidak akan berhasil jika hanya dibangun di atas wacana tanpa keberanian dalam penegakan aturan. Maka, jangan biarkan desa kami terus tertinggal karena abainya pemimpin yang seharusnya hadir, bekerja, dan melayani.

Oleh: Riswan Wadi
Sekertaris Jendral : BIM MALUT

Barisan Intelektual Muda Maluku Utara (BIM-MALUT) kembali akan menunjukkan sikap kritis dan progresif terhadap persoalan lingkungan hidup dan keadilan sosial di kawasan timur Indonesia. Dalam waktu dekat, kami akan menggelar aksi Jilid II demonstrasi di depan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia dengan satu tuntutan utama: mendesak pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Harita Group di Pulau Obi, Halmahera Selatan.

Tuntutan ini bukan muncul tanpa alasan. Berdasarkan temuan yang beredar luas dan diangkat berbagai elemen masyarakat, termasuk aktivis dan warga lokal, aktivitas pertambangan nikel yang dilakukan oleh PT Harita Group diduga kuat menyebabkan pencemaran lingkungan serius, terutama dengan munculnya zat beracun Kromium-6 (Cr6) di sumber air yang digunakan masyarakat Desa Kawasi dan sekitarnya.

Kromium-6: Zat Beracun yang Mengintai Kehidupan. Kromium-6 bukanlah senyawa biasa. Zat ini dikenal luas dalam literatur ilmiah sebagai karsinogenik artinya dapat menyebabkan kanker serta berdampak negatif terhadap organ penting manusia seperti ginjal, hati, dan paru-paru. Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (EPA) dan WHO telah memasukkan Kromium-6 dalam daftar bahan kimia berbahaya yang perlu diawasi ketat. Fakta bahwa unsur ini ditemukan di Pulau Obi, di tengah aktivitas pertambangan, adalah alarm keras tentang kelalaian industri dalam menjaga keberlanjutan dan keselamatan hidup masyarakat lokal.

dimana Negara Saat Rakyat Terancam?. Pulau Obi bukan hanya ladang nikel ia adalah tempat tinggal, ruang hidup, dan sumber kehidupan bagi ribuan warga Maluku Utara. Ketika masyarakat harus hidup berdampingan dengan ancaman kimia mematikan, dan perusahaan justru berekspansi, pertanyaan mendasarnya adalah: apakah negara berpihak pada rakyat atau pada modal?

Aksi kami BIM-MALUT di Jakarta merupakan perwujudan dari keprihatinan yang mendalam atas sikap abai yang ditunjukkan pemerintah pusat terhadap dampak sosial dan ekologis yang terjadi di daerah-daerah lingkar tambang. Pemerintah tidak bisa terus-menerus berlindung di balik retorika “investasi strategis nasional”, sementara rakyat di Pulau Obi menghadapi risiko penyakit, kehilangan sumber air bersih, dan degradasi lingkungan yang nyaris tidak dapat dipulihkan.

Investasi Tak Boleh Membunuh masyarakat. Kami tidak anti-investasi, tetapi anti pada bentuk investasi yang mencederai hak hidup manusia dan merusak alam. Investasi sejatinya harus mensejahterakan masyarakat, bukan memiskinkan, mencemari, dan menggusur mereka dari sumber kehidupannya.

Dalam konteks ini, pencabutan IUP PT Harita Group bukanlah sekadar tuntutan emosional, tetapi solusi konkret untuk menghentikan kerusakan yang lebih luas. Pemerintah pusat, khususnya Kementerian ESDM, mesti menempatkan keselamatan rakyat sebagai prioritas tertinggi dalam tata kelola sumber daya alam.

Gerakan Intelektual untuk Lingkungan Hidup, Apa yang dilakukan BIM-MALUT adalah bagian dari tradisi panjang gerakan intelektual yang berpihak pada keadilan. Kami bukan hanya turun ke jalan, tapi membawa suara mereka yang tak terdengar dari pelosok Maluku Utara suara petani, nelayan, anak-anak yang kehilangan sumber air bersih.

Sudah saatnya pemerintah pusat membuka telinga dan hati: cabut IUP PT Harita Group sekarang juga, sebelum Pulau Obi sepenuhnya kehilangan masa depannya.

Oleh: Hasby Yusuf

Dalam Rapat Kerja Komite III DPD RI bersma Fadli Zon Menteri Kebudayaan Republik Indonesia. Saya minta perhatian khusus pemerintah pusat untuk Pengembangan Kebudayaan di Maluku Utara.

Bagi saya, negeri jazirahtul mulk ini tidak hanya memiliki panorama alam yang memukau tetapi juga memiliki jejak Kebudayaan yang luar biasa. Sayangnya sejarah dan Kebudayaan Maluku Utara belum mendapatkan perhatian yg proporsional, bahkan yang dikenal hanya tambang Emas dan Nikel. Emas dan Nikel akan habis pada waktunya, tetapi Sejarah dan Kebudayaan akan terus abadi.

Ternate, Tidore, Bacan, Jailolo merupakan salah satu Kesultanan tertua di Timur Indonesia Timur, dengan jejak sejarah & warisan Kebudayaan yang besar. Ternate dan Tidore misalnya, pada punya peran besar dalam sejarah bangsa ini. Tidore pernah menjadi ibukota Provinsi Perjuangan Irian barat dan memiliki jejak kekuasaan hingga Papua dan Maluku. Bahkan titik nol rempah juga berada di Tidore.

Ternate pernah menjadi ibukota pertama hindia Belanda, Bandar internasional dalam jalur rempah dunia. Bahkan Ternate adalah tempat lahirnya surat bersejarah “Letter From Ternate” Wallacea kepada Darwin yg kelak melahirkan teori evolusi yang melegenda hingga kini.

Tetapi semua sejarah & Kebudayaan besar negeri ini tersapu oleh hegemonik pusat kekuasaan yang selalu memandang Indonesia dalam perpektif yg sangat Jawa sentris. Akhirnya Tidore, Ternate dan Wilayah Timur hanya dipandang sekedar wilayah pinggiran (peripheral) dan ekploaitasi sumberdaya alam.

Watak dasar kekuasaan yang sentralistik adalah dominasi dan eliminasi. Pada akhirnya warisan sejarah dan Kebudayaan tak lagi dilihat sebagai kekayaan bangsa. Padahal kekuatan dan kejayaan suatu bangsa bergantung pada bagaimana bangsa itu merawat memori sejarah dan akar kebudayaan. Inilah menurut saya salah satu sebab kemunduran kita sebagai bangsa.

Indonesia Emas tahun 2045, harus dimaknai tak sekedar gagasan tetapi dengan usaha sadar untk mengembalikan memori dan spirit Kebudayaan. Inilah mengapa negara/pemerintah perlu kembali mengembalikan kekayaan sejarah & Kebudayaan.

Pada poin ini saya mengapresiasi Pemerintahan Prabowo yang telah melakukan langkah bersejarah dengan membentuk Kementerian Kebudayaan. Ini untuk pertama kalinya dalam sejarah Kementerian Kebudayaan dibentuk. Sebelumnya Kebudayaan hanya menjadi subsektor pd Kementerian tertentu.

Saya berharap Kementerian Kebudayaan dibawah Kepemimpinan Fadli Zon yang selama ini dikenal sebagai politisi yg dekat dgn agenda Kebudayaan mampu kembalikan kekayaan besar bangsa ini yang bernama Kebudayaan. Sebagai Senator yang mewakili Provinsi Maluku Utara saya tegaskan bahwa Kekayaan terbesar Maluku Utara bukan Emas dan Nikel tetapi Sejarah dan Kebudayaan.

Oleh: Wilson Colling, S.H., M.H.
Praktisi Hukum dan Penulis Aktif di Media Sosial

“𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢 𝘪𝘯𝘴𝘵𝘪𝘵𝘶𝘴𝘪 𝘳𝘦𝘱𝘶𝘣𝘭𝘪𝘬 𝘪𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢, 𝘥𝘢𝘯 𝘰𝘳𝘨𝘢𝘯𝘪𝘴𝘢𝘴𝘪 𝘬𝘦𝘮𝘢𝘴𝘺𝘢𝘳𝘢𝘬𝘢𝘵𝘢𝘯 𝘢𝘥𝘢 𝘰𝘬𝘯𝘶𝘮 𝘱𝘳𝘦𝘮𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢 𝘤𝘶𝘮𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘥𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘱𝘳𝘦𝘮𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘥𝘢𝘴𝘪 (𝘬𝘦𝘳𝘢 𝘱𝘶𝘵𝘪𝘩 𝘥𝘢𝘯 𝘱𝘳𝘦𝘮𝘢𝘯 𝘫𝘢𝘭𝘢𝘯𝘢𝘯 ( 𝘴𝘢𝘮𝘱𝘢𝘩 𝘮𝘢𝘴𝘺𝘢𝘳𝘢𝘬𝘢𝘵) ”

Dalam riuhnya kehidupan demokrasi yang kerap kali diguncang oleh polarisasi dan retorika berlebihan, kita mendengar lagi seruan pembubaran organisasi kemasyarakatan (ormas) dengan alasan adanya oknum yang diduga melakukan pelanggaran hukum. Narasi ini bukan saja tidak sehat dalam perdebatan publik, melainkan juga menyalahi prinsip dasar konstitusi negara hukum. Ketika satu dua individu menyimpang, bukan berarti institusi harus dimatikan. Ini adalah kekeliruan konstitusional yang perlu diluruskan.

Dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul. Hak ini tidak boleh digugurkan hanya karena beberapa oknum dalam sebuah organisasi bertindak di luar batas hukum. Hukum yang sehat menuntut pertanggungjawaban secara individual, bukan kolektif. Maka, menyamaratakan kesalahan individu untuk membubarkan suatu organisasi adalah pelanggaran terhadap asas due process of law dan prinsip equality before the law.

Mari kita tarik contoh. Ketika sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat terbukti korupsi, tidak pernah sekalipun kita mendengar usulan pembubaran DPR. Ketika ada jaksa yang menyalahgunakan wewenang, tidak serta-merta Kejaksaan Agung dibubarkan. Begitu pula saat aparat kepolisian melakukan kekerasan atau pelanggaran HAM, publik menuntut reformasi internal, bukan pembubaran lembaga.

Kita harus bersikap jernih dalam melihat realitas. Tidak ada satu pun institusi atau organisasi yang sepenuhnya steril dari penyimpangan oknum. Namun, kita juga tahu bahwa kesalahan individu bukanlah alasan sah secara konstitusional untuk membubarkan institusi. Ambil contoh institusi kepolisian—ketika seorang anggota polisi melakukan penembakan membabi buta atau terlibat dalam korupsi, bukan berarti seluruh institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia kehilangan legitimasi. Yang tepat adalah menegakkan hukum terhadap pelaku, tanpa menghapus keberadaan institusi yang secara struktural sah dan memiliki fungsi vital menjaga ketertiban umum.

Hal yang sama berlaku pada Kejaksaan. Jika ditemukan jaksa menyalahgunakan wewenang atau menerima gratifikasi, apakah wajar jika kita menyerukan pembubaran Kejaksaan? Tentu tidak. Langkah yang rasional adalah memperkuat mekanisme pengawasan internal dan memastikan bahwa sanksi terhadap pelanggaran dijalankan secara tegas. Dalam sistem peradilan, keberadaan hakim yang korup juga tidak serta-merta menjadi dasar untuk membubarkan lembaga peradilan itu sendiri. Kehadiran sistem hukum harus tetap berjalan, karena yang dibutuhkan adalah pembaruan internal, bukan pemusnahan institusional.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang didirikan untuk memberantas kejahatan luar biasa, juga tak luput dari tudingan pelanggaran etik oleh oknumnya sendiri. Namun, tidak ada ruang legal yang membenarkan pembubaran lembaga antirasuah itu hanya karena kesalahan personal. Yang mendesak dilakukan adalah memperbaiki sistem kontrol, menjaga integritas kelembagaan, dan membuka akses transparansi kepada publik.

Demikian pula Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), lembaga yang semestinya menjadi wakil suara rakyat, justru berkali-kali diterpa skandal korupsi oleh sejumlah anggotanya. Apakah kemudian DPR layak dibubarkan? Tentu tidak. Proses hukum terhadap individu pelanggar adalah langkah konstitusional yang seharusnya dikedepankan, bukan penghancuran lembaga demokrasi yang menjadi simbol representasi rakyat.

Dalam dunia profesi, organisasi advokat (OA) juga menghadapi tantangan serupa. Beberapa advokat diketahui melanggar kode etik, melakukan gratifikasi, bahkan terlibat dalam praktik tidak profesional. Namun, organisasi advokat tetap memiliki tempat dalam sistem peradilan dan perlindungan hukum. Mekanisme penegakan disiplin melalui Dewan Kehormatan Advokat adalah solusi yang sah, bukan pembubaran.

Terakhir, menyasar organisasi kemasyarakatan (ormas) dengan alasan keberadaan oknum menyimpang merupakan langkah yang bias dan penuh muatan politis. Ormas didirikan berdasarkan konstitusi dan tunduk pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013. Jika terdapat pelanggaran, negara wajib melakukan pembinaan, bukan pembubaran. Menutup organisasi secara total karena tindakan segelintir anggotanya justru melemahkan semangat demokrasi dan partisipasi publik yang sedang tumbuh di tengah masyarakat.

Standar ganda yang diterapkan terhadap ormas mencerminkan bias politik sekaligus kekeliruan logika hukum. Ormas adalah bagian integral dari sistem sosial yang dilindungi hukum, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Pembubaran ormas secara sepihak bukan hanya melanggar prinsip legalitas, tetapi juga membuka ruang represi terhadap kebebasan sipil.

Harus dipahami bahwa dalam sistem hukum Indonesia, penindakan terhadap pelanggaran dilakukan secara proporsional dan berbasis bukti. Jika ada anggota ormas yang melakukan tindak pidana, aparat penegak hukum harus menindak mereka sesuai ketentuan pidana yang berlaku. Mekanisme ini mencerminkan bahwa keadilan tidak boleh menjadi alat kekuasaan untuk meredam kritik atau membungkam suara masyarakat.

Menjadikan keberadaan ormas sebagai ancaman hanya karena perilaku oknum adalah pendekatan anti-demokratis. Alih-alih memperkuat supremasi hukum, narasi pembubaran justru merusak institusionalisasi masyarakat sipil yang sehat. Dalam negara demokrasi, pembinaan organisasi, penguatan regulasi, serta transparansi internal jauh lebih bijak dibanding penghancuran yang didasarkan pada sentimen sesaat.

Negara semestinya bertindak sebagai pembina, bukan algojo. Dalam hal ini, pemerintah memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa regulasi dan mekanisme pengawasan terhadap ormas berjalan sesuai asas hukum yang adil dan proporsional. Pendekatan represif tidak hanya mencederai konstitusi, tetapi juga menciptakan preseden buruk bagi masa depan demokrasi.

Ormas tidak sempurna. Seperti halnya institusi negara lainnya, mereka juga memiliki potensi disusupi oleh individu-individu yang menyimpang. Namun, kehadiran ormas sebagai kanal aspirasi masyarakat, kontrol sosial, dan penggerak perubahan sosial tidak bisa disangkal. Dalam banyak kasus, ormas hadir di ruang-ruang kosong yang tidak dijangkau negara—membantu korban bencana, mengadvokasi hak rakyat kecil, dan menjaga moral publik.

Membubarkan ormas karena ulah oknum bukanlah jawaban. Solusi yang tepat adalah penegakan hukum yang transparan, pembinaan berkelanjutan, serta evaluasi regulatif yang objektif. Dalam hukum, keadilan ditegakkan bukan dengan cara membakar rumah karena seekor tikus, melainkan dengan menangkap tikus itu dan memperbaiki rumahnya agar tidak menjadi sarang kejahatan.

Muat Lagi Berita