LABUHA, Malutline- Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sejahterah mandiri Desa Labuha kecamatan Bacan kabupaten Halmahera Selatan dinilai tidak memiliki kewenangan untuk menarik retribusi kendaraan secara langsung, Retribusi daerah, termasuk retribusi kendaraan karena penarikan restribusi merupakan kewenangan pemerintah daerah kabupaten Halmahera Selatan dan diatur dalam peraturan daerah.

Hal ini di sampaikan oleh ketua Lembaga suwadaya masyarakat (LSM) Front Anti korupsi Indonesia (FAKI) Provinsi Maluku Utara, Dani Haris Purnawan kepada Malutline melalui saluran teleponnya, Minggu (20/07/2025) mengatakan pemerintah Desa Labuha kecamatan Bacan kabupaten Halmahera Selatan, Badi Ismail melalui BUMDes Sejahterah mandiri Desa Labuha yang menarik restribusi kendaraan di areal pelabuhan perahu motor kompleks Habibi.

Penarikan Restribusi kendaraan oleh BUMDES sejahtera mandiri Labuha tarifnya terbilang cukup tinggi yakni Rp.5000 di bandingkan penarikan restribusi pada pelabuhan kupal kecamatan Bacan Selatan dan pelabuhan Babang kecamatan Bacan timur kabupaten Halmahera Selatan provinsi Maluku Utara, padahal penarikan restribusi kendaraan oleh BUMDES sejahtera mandiri Labuha masih di lakukan secara ilegal.

Dikatakannya penarikan Restribusi karcis masuk pada areal pelabuhan perahu motor (PM) kompleks pelabuhan Habibi oleh BUMDes sejahterah mandiri Labuha harus bekerja sama dengan pemerintah daerah Halsel untuk mengelola potensi desa, termasuk potensi pendapatan dari retribusi, namun kewenangan pemungutan distribusi karcis harus tetap berada di tangan pemerintah daerah atau yang melakukan penarikan secara resmi di lakukan pemda Halsel.

Dani menjelaskan Kewenangan Retribusi daerah, termasuk retribusi kendaraan, diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Peran BUMDes adalah badan usaha yang didirikan oleh desa untuk meningkatkan pendapatan desa dan kesejahteraan masyarakat, Kerjasama BUMDes dan Pemerintah Daerah dapat bekerja sama dengan BUMDes dalam pengelolaan potensi desa, termasuk potensi retribusi, namun mekanisme dan kewenangan tetap diatur oleh pemerintah daerah.

Misalnya Pemerintah daerah Halsel dapat memberikan wewenang kepada BUMDes sejahterah mandiri Labuha untuk melakukan pemungutan retribusi, namun hasil pemungutan tersebut harus disetorkan kepada pemerintah daerah, dan BUMDes mendapatkan bagian sesuai dengan kesepakatan kerjasama,
Jadi, meskipun BUMDes tidak dapat menarik retribusi secara langsung, mereka dapat berperan dalam membantu pemerintah daerah dalam pengelolaan retribusi dan mendapatkan manfaat dari kerjasama tersebut, namun mekanisme kerjasama tidak di lakukan oleh pemdes Labuha melalui Bumdes sehingga penarikan restribusi karcis di lakukan BUMDES Labuha masuk pada kategori pungutan liar penarikan restribusi kendaraan. Ujarnya.

Sementara itu kepala Dinas perhubungan Halmahera Selatan, Ramli Manui saat di konfirmasi wartawan Minggu (20/07/2025) mengatakan pihaknya juga baru tau soal penarikan restribusi kendaraan roda dua dan roda empat yang di lakukan oleh pemerintah desa Labuha melalui Bumdes sejahterah mandiri Labuha, paling tidak sebelum di lakukan penarikan restribusi harus ada penandatanganan MOU dulu dengan pemerintah daerah (Pemda) Halmahera Selatan tentang teknis pembagian restribusi dan cara penagihannya.

Ramli menyebutkan Sedangkan pihak Rumah sakit umum Daerah (RSUD) Labuha Halsel untuk meningkatkan Pendapatan asli Daerah (PAD) di Rumah sakit Labuha untuk minta pengelolaan parkir di RSUD Labuha juga saya sebagai kadishub Halsel belum berani karena belum di lakukan penandatanganan MOUnya dengan pemda Halsel. Akuinya.

Hingga berita ini di Publish pihak BUMdes sejahtera mandiri Labuha Halmahera Selatan masih dalam upaya konfirmasih. (Red)

TERNATE, Malutline – Lembaga Suwadaya Masyarakat (LSM) Lidik Provinsi Maluku Utara (Malut) meminta kejaksaan tinggi (Kejati) Malut menetapkan mantan Bupati Halsel, Bahrain Kasuba, Ikbal Mustafa dan pejabat lain sebagai tersangka dalam kasus pembangunan Mesjid Raya Alkhairat Halsel.

Kepada media, Samsul Hamza menyatakan proses pengembangan kasus belum maksimal dan bahwa sejumlah tokoh kunci harus diadili karena berperan dalam pengawasan proyek.

Trio “Baik” yang patut di tetapkan sebagai tersangka yakni “Bahrain Kasuba, Aswin Adam, dan Ikbal Mustafa harus diperiksa dan pantas ditetapkan tersangka,” ujarnya menegaskan, Jumat (4/7)

Menurutnya mereka adalah saksi kunci dalam kasus tersebut. “Penetapan tersangka terhadap mereka sangat wajar mengingat peran mereka dalam pengawasan proyek,” tandasnya.

Diketahui, proyek mesjid raya Halsel menelan anggaran sekitar Rp. 119,8 miliar, dengan rincian mulai dari Rp. 50 miliar anggaran 2016 yang kemudian dikurangi menjadi Rp. 29 miliar karena recovey, dan dilanjutkan tahun-tahun berikutnya.

Tahun 2017, anggaran sebesar Rp. 29,95 miliar dikerjakan oleh PT. Bangun Utama Mandiri, tahun 2018 Rp. 29,89 miliar oleh PT. Bangun Utama Mandiri Nusa dan tahun 2019 sebesar Rp. 9,98 miliar dikerjakan oleh CV. Minanga Tiga Satu.

Untuk tahun 2021, Rp. 11 miliar dikerjakan PT. Duta Karya Pratama Unggul, dan tahun 2024 kembali dianggarkan Rp 10 miliar. Maka, total anggaran pembangunan mencapai kurang lebih Rp. 119,8 miliar. (Red)

SOFIFI, Malutline– Sherly Tjoanda Gubernur Provinsi Maluku, akhir-akhir ini sangat gencar dan bersemangat dalam memperjuangkan amanat Undang-undang pemekaran atas keinginan dan kebutuhan masyarakat Maluku Utara khusunya masyarakat kota Sofifi daratan oba kota Tidore Kepulauan yang menginginkan adanya Daerah Otonomi Baru (DOB) Kota Sofifi.

Namun amanat undang-undang terkait pemekaran Daerah otonom baru (DOB) Kota Sofifi ini membuat Wali Kota Tidore Kepulauan, Muhammad Sinen dan Husain Alting Syah yang juga Sultan Tidore juga terlihat ikut mempolopori para ASN di lingkup Pemerintah kota (Pemkot) Tidore untuk melakukan penolakan atas amanat undang-undang terkait status ibu kota provinsi Maluku Utara di kota Sofifi dengan dalih mempertahankan budaya dan nilai-nilai sejarah leluhur kesultanan Tidore.

Padahal sangat jelas pemekaran Daerah otonom baru (DOB) kota Sofifi sebagai ibu kota provinsi Maluku Utara adalah amanat undang-undang Pemekaran Provinsi Maluku Utara pada tahun 1999 Lebih tepatnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999, Provinsi Maluku Utara resmi dibentuk dan menjadi provinsi tersendiri yang terpisah dari Provinsi Maluku, dan jika terbentuk DOB kota Sofifi terbentuk juga tidak menghilangkan nilai budaya dan sejarah kesultanan Tidore.

Sementara itu Gubernur Maluku Utara Sherly jhoanda Laos terus memperjuangkan Keinginan dan permintaan masyarakat Maluku Utara terkait DOB kota Sofifi sudah di sampaikan Gubernur Maluku Utara Sherly jhoanda kepada Presiden Prabowo Subianto, Menteri Dalam Negeri, dan DPR RI agar Sofifi segera dimekarkan menjadi kota madya sekaligus pusat pemerintahan baru provinsi Maluku utara karena “DOB Sofifi adalah keinginan kita semua jadi Saya sudah sampaikan langsung kepada Presiden, Menteri Dalam Negeri, dan DPR RI.

Menurut Sherly, saat ini Sofifi yang telah ditetapkan sebagai ibu kota provinsi sejak Perpres 1999, masih berstatus sebagai kelurahan. Kondisi ini dinilai tidak lagi sesuai dengan fungsi strategisnya sebagai pusat pemerintahan. ujar Sherly Laos kepada media di Kota Ternate, Rabu 17 Juli 2025.

Sementara itu Sultan Tidore ke-37, H. Husain Alting Sjah, pada saat kampanye politik dan Debat kadindat calon Gubernur Maluku Utara periode 204-2029 dirinya menyatakan mendukung DOB Sofifi dirinya juga mengakui saat itu dirinya mempertaruhkan diri untuk memperjuangkan DOB Sofifi sebagai ibu kota provinsi Maluku Utara di saat darurat sipil di bawah pimpinan Gubernur Maluku Utara Muhyi evedi.

Namun pada saat kalah dalam pertarungan politik Pilgub Maluku Utara periode 2024-2029 sultan Husain Alting Syah dan Muhamad Senin walikota tidore di tuding oleh warga Sofifi kalau keduanya kalah Bicara lain menang bicara lain karena Sultan Tidore Husain syah dengan tegas menolak upaya pemisahan Sofifi dari Kota Tidore Kepulauan. Dalam orasinya saat Apel Siaga yang digelar Presidium Rakyat Tidore di halaman Kedaton Kesultanan Tidore, Kamis (17/7), Sultan menegaskan bahwa Sofifi dan seluruh wilayah Oba adalah bagian tak terpisahkan dari Kesultanan Tidore.

“Sofifi adalah amanah leluhur. Tanah yang tersisa ini harus dijaga dan dicintai. Wahai orang-orang yang datang ke Sofifi, jangan mengadu domba. Sejak dahulu, Sofifi, Oba Utara, hingga Oba Selatan adalah milik Kesultanan Tidore,” tegas Sultan di hadapan massa aksi.

Sultan Husain juga mengingatkan sejarah perjuangan berdarah dalam memisahkan Provinsi Maluku Utara dari Provinsi Maluku. Ia menyebut, dirinya adalah saksi hidup dari tarik ulur penentuan ibu kota provinsi yang saat itu diperebutkan antara Tidore dan Ternate.

“Perjuangan kami agar ibu kota Provinsi Maluku Utara berada di Tidore sangat berat. Saat pemerintah pusat menetapkan ibu kota definitif di Sofifi sebagai bagian dari Kota Tidore, proses pemindahannya pun tidak mudah, Saya bahkan mendesak langsung Penguasa Darurat Sipil saat itu agar segera memindahkan pusat pemerintahan ke Sofifi,” jelasnya.

Menurut Sultan, setelah Tidore memberikan banyak untuk bangsa—termasuk kontribusinya terhadap Papua dan Halmahera Tengah—kini justru tanahnya sendiri yang ingin dipisahkan tanpa menghormati sejarah dan kearifan lokal, “Tidore telah memberikan banyak. Kini tinggal tanah ini yang ingin diobok-obok. Siapa pun Anda, jika merasa orang Tidore, jangan tinggal diam.

Jangan tidur dengan keadaan seperti ini,” ucapnya dengan nada tegas, Ia juga mengingatkan Presiden RI, Prabowo Subianto, agar mencermati secara serius rencana pemekaran wilayah tersebut.

“Bapak Presiden, tolong kaji baik-baik. Orang yang paling cinta Republik ini adalah orang Tidore, Menutup orasinya, Sultan mengajak seluruh masyarakat Tidore untuk menjaga warisan leluhur dan tidak membiarkan amanah sejarah dirampas “Bangkit dan pikul amanah ini di atas tangan sendiri. Jangan biarkan tanah ini dirampas oleh kepentingan sesaat,” pungkasnya.

Begitu juga Muhamad Senin yang akrab di sapa ayah Erik walikota tidore pada saat kampanye politik dan Debat kandidat calon walikota dan wakil walikota tidore provinsi Maluku Utara mengatakan jika dirinya terpilih sebagai walikota tidore pihaknya akan melepaskan Sofifi dari kota Tidore Kepulauan untuk dimekarkan menjadi ibukota provinsi Maluku Utara, namun setelah, Muhamad Senin alias Ama Erik setelah terpilih sebagai walikota tidore Menurutnya, yang di kutip dari berbagai media menyebutkan tuntutan atas adanya DOB Sofifi pada tahun 2010 silam, dikarenakan adanya disparitas pembangunan yang dianggap tidak merata antara Tidore dan Wilayah Oba.

Namun semenjak dirinya menjadi Wakil Walikota Tidore Kepulauan berpasangan dengan Capt. H. Ali Ibrahim, selama dua periode terhitung sejak 2015-2024, pusat perhatian Pemerintah Kota Tidore, sudah banyak diarahkan ke daratan Oba.

Hal itu dibuktikan dengan kebijakan Pemerintah Kota mengalokasikan anggaran melalui batang tubuh APBD Kota Tidore. Dimana untuk wilayah pulau Tidore hanya mendapatkan jatah sebesar 40 persen, dan wilayah oba sebesar 60 Persen.

“Soal DOB ini saya memahami benar bagaimana keinginan masyarakat di Oba pada saat itu. Jadi ketika saya memimpin Kota Tidore, perhatian Pemerintah itu sudah lebih banyak diarahkan ke Wilayah Oba,” ungkap Wali Kota, Muhammad Sinen, saat ditemui awak media di Kedaton Kesultanan Tidore, Kamis, (17/7/25)

Muhammad Sinen mengaku, dimasa dirinya menjadi Wakil Wali Kota Tidore, bnyak hal yang telah dibicarakan bersama, antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi dan Kota Tidore Kepulauan, yang telah dituangkan dalam beberapa dokumen perencanaan dan telah disepakati bersama, tapi sampai saat ini belum ada realisasinya.

Hal ini bisa dilihat dari beberapa dokumen perencanaan dan kesepakatan sebagaimana yang termuat dalam pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2015 – 2019.

Dimana dalam dokumen itu, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/BPN telah menyusun Materi Teknis tentang Rencana Penyusunan Master Plan Kota Baru Sofifi, yang delineasi wilayahnya mencakup seluruh wilayah Kecamatan Oba Utara di Kota Tidore Kepulauan, dengan berbagai program yang saling mendukung antara satu daerah dengan daerah lainnya.

Namun dalam perjalanannya, Pemerintah Provinsi Maluku Utara mengusulkan perubahan delineasi wilayah ini menjadi lebih besar yaitu mencakup sebagian wilayah yang ada di Kabupaten Halmahera Barat, Kecamatan Oba Utara dan Oba Tengah di Kota Tidore Kepulauan.

Dengan adanya perubahan wilayah ini, maka perencanaan pengembangan Sofifi yang telah disusun oleh Pemerintah Pusat melalui kementerian ATR menjadi mentah, dan tidak ada implementasinya.

“Jika Ibu gub berniat baik membangun Sofifi sebagai Ibu Kota Provinsi, sebenarnya tidak perlu harus DOB. Kita hanya perlu menyusun kembali perencanaan yang baru dalam membangun Sofifi,” jelas Ayah Erik, sapaan akrab Muhammad Sinen.

Pasalnya, dalam RPJMN Tahun 2020 – 2024, pengembangan Sofifi sebagai Ibu Kota Provinsi Maluku Utara, masuk dalam Daftar Proyek Prioritas Strategis dengan indikasi pendanaan trilyunan rupiah.

Dalam dokumen tersebut, nomenklatur pembangunannya adalah Pengembangan Kota Baru, bukan Pembentukan Daerah Otonom Baru.

Ini berarti bahwa semangat membangun Sofifi bukan pada pemekaran Sofifi, tapi bagaimana membangun wilayah yang ada di sekitar pusat pemerintahan Provinsi Maluku Utara, agar bisa berkembang sebagaimana layaknya sebuah ibu kota Provinsi.

Ayah Erik mengaku, Pada tahun 2021, Kementerian Dalam Negeri telah menindaklanjuti Pengembangan Sofifi dengan menyusun rencana pembentukan Kawasan Khusus Ibu Kota Provinsi Maluku Utara, yang akan dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk mempercepat proses pembangunan Sofifi, yang wilayahnya mencakup Kecamatan Jailolo Selatan di Kabupaten Halbar, dan Kecamatan Oba Utara dan Oba Tengah di Kota Tidore Kepulauan.

Kemendagri kemudian membentuk Tim, dan Tim ini telah melakukan beberapa kali rapat dengan Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kota Tidore Kepulauan dan Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat.

Rapat bersama menyepakati skema pembangunan Sofifi yang disusun dalam 3 (tiga) pilihan skenario, yaitu skenario Minimal dengan biaya 3,9 Trilyun, Moderat dengan biaya 5 Trilyun) dan Maksimal dengan biaya 15,8 Trilyun.

Namun sampai saat ini tidak terdengar lagi kelanjutannya. Padahal dalam rapat-rapat tim, pembahasannya sudah sampai pada apa saja yang akan dibangun, berapa biayanya dan siapa pelaksananya.

Dari 3 point di atas, menunjukkan bahwa antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kota Tidore Kepulauan sebenarnya sudah pernah duduk bersama untuk membicarakan bagaimana membangun Sofifi sebagai Ibu Kota Provinsi Maluku Utara, bukan sebagai Daerah Otonom Baru.

Namun pembahasan bersama ini kemudian terputus dan tiba-tiba Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda kemudian mengusulkan pemekaran Sofifi sebagai Daerah Otonom Baru (DOB).

“Kalau dengan cara seperti ini, mulai dari Materi Teknis Kementerian ATR dengan wilayahnya mencakup Kecamatan Oba Utara, kemudian berubah cakupannya menjadi 3 kecamatan yaitu Jailolo Selatan, Oba Utara dan Oba Tengah dengan skema Kawasan Khusus Ibu Kota Provinsi Maluku Utara, dan sekarang mau dijadikan DOB tanpa merealisasikan rencana sebelumnya, maka orang akan berpikir, sebenarnya Sofifi ini mau dibangun oleh Provinsi atau tidak,” kesalnya.

Ayah Erik mengaku, dari rangkaian proses yang dilalui, tentu Pemerintah Kota Tidore telah dibohongi dua kali oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat. Karena dalam 2 periode RPJMN sebelumnya, Sofifi masuk dalam proyek strategi nasional tapi tidak ada realisasi pembangunan yang signifikan.

Untuk itu, Ia berharap agar persoalan ini dapat didudukan kembali secara bersama untuk fokus pada bagaimana membangun Sofifi, sesuai dengan usulan program dan kegiatan yang telah dibahas sebelumnya, seperti pembangunan Bandara Loleo, Pelabuhan dan lain-lain.

“Program ini harus ada kejelasan dari Provinsi sudah sampai di mana implementasinya, mari kita lanjutkan, sehingga hasilnya terlihat jelas bahwa Sofifi benar-benar layak menjadi Ibu Kota Provinsi,” tambahnya.

kata Ayah Erik, inti permasalahan di Sofifi bukan pada pembentukan DOB atau tidak, tapi pada keseriusan Pemerintah Provinsi sebagai perpanjangan tangan dari Pemerintah Pusat untuk membangun Sofifi atau tidak.

Karena di dalam rapat bersama di Kemenko Marves pada tanggal 2 Agustus 2021, Menko Marves Bapak Luhut Binsar Panjaitan juga menegaskan bahwa Pengembangan kawasan pusat pemerintahan Sofifi tidak berbicara status atau titel kawasan, tapi bagaimana pengembangannya sebagai Ibu Kota Provinsi.

Olehnya itu, Ayah Erik mengusulkan agar perlu diusulkan penyesuaian atau revisi Undang-undang nomor 46 Tahun 1999 pasal 9 ayat 1 yang menyatakan bahwa “Ibu kota Provinsi Maluku Utara berkedudukan di Sofifi, Kemudian di dalam penjelasannya disebutkan bahwa “Yang dimaksud dengan Sofifi sebagai ibukota Provinsi Maluku Utara pada ayat ini adalah sebagian wilayah yang berada di kecamatan Oba, Kabupaten Halmahera Tengah.

Selang beberapa tahun kemudian, terjadi pemekaran Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku Utara melalui UU Nomor 1 Tahun 2003, dimana Kota Tidore Kepulauan yang didalamnya ada Sofifi ikut terpisah dari Kabupaten Halmahera Tengah, sehingga tidak lagi konsisten dengan pasal 9 UU 46 Tahun 1999.

“Disinilah terjadi ketidakpastian hukum di mana status Sofifi bukan lagi bagian dari Kabupaten Halmahera Tengah dan tidak sejalan dengan amanat UU 46 Tahun 1999,” katanya

Untuk itu, agar kita fokus pada proses pengembangan Sofifi, maka perlu dilakukan penyesuaian UU 46 Tahun 1999 dengan kondisi riil saat ini, yaitu dengan melakukan revisi/perubahan pasal 9 ayat (1) UU 46 Tahun 1999, menjadi Ibu kota Provinsi Maluku Utara adalah Kota Tidore Kepulauan yang beralamat di di Sofifi.

“Dengan demikian maka percepatan pembangunan Sofifi sebagai Ibu Kota Provinsi Maluku Utara akan berjalan dengan lancar tanpa ada polemik terkait pemekaran wilayah, karena kelancaran proses pembangunan tidak tergantung pada pembentukan DOB atau tidak, tapi lebih pada keseriusan kita dalam melaksanakan pembangunan,” cetusnya. (Red)

LABUHA, Malutline – Kasus dugaan korupsi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Sarumah kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara yang disebut-sebut merugikan keuangan daerah bernilai belasan miliaran rupiah hingga kini belum ada titik terang.

Padahal, sejumlah pejabat tinggi bank daerah dan lingkup Pemda Halmahera Selatan telah diperiksa sejak Juni 2023 lalu, namun hingga hampir memasuki satu tahun, belum juga ada perkembangan dalam kasus tersebut.

Kasus yang pertama kali dibongkar oleh Mendiang Bupati Halmahera Selatan, Hi. Usman Sidik itu tampak redup usai Kejari memeriksa sejumlah saksi yang diduga terlibat dalam skandal BPRS Saruma.

Kasi Pidsus, Kejaksaan Negeri Labuha, Hendri Dunan, pernah di konfirmasi wartawan belum lama ini mengatakan pihaknya mengaku saat ini pihaknya masih menunggu proses perhitungan BPKP terkait kerugian negara dalam perkara tersebut. “Kita lagi berproses perhitungan BPKP,” akui Hendri.

Dia belum bisa memastikan kapan akan dilakukan penetapan tersangka dalam kasus yang melibatkan sejumlah pejabat di lingkup Pemkab Halsel dan pihak bank, “Kita belum tau juga kapan, kita sifatnya menunggu hasil, kalau untuk data sudah kita sampaikan dan klarifikasi sebagian sudah,” ujarnya.

Hendri berjanji akan mengumumkan secara terbuka dalam konferensi pers (ekspose) bersama dengan timnya saat penetapan tersangka digelar, “Nanti kita tunggu hasil, dan kita dari pihak Kejari halsel juga akan dlakukan ekspose bersama dengan tim penyidik. untuk sementara waktu belum,” tutupnya.

Hal ini mendapat tanggapan keras dari Lembaga suwadaya masyarakat (LSM) Front Anti Korupsi Indonesia (FAKI) Provinsi Maluku Utara, Dani Haris Purnawan sabtu (18/07/2025) mengatakan perkembangan proses hukum kasus kredit macet Bank BPRS Sarumah tersebut hingga kini belum dilakukan ekspose secara terbuka ke masyarakat Halmahera Selatan itu perlu di pertanyakan.

Dikatakannya berdasarkan sumber informasi dari pihak yang terpercaya di internal menyebutkan kalau kasus tersebut suda dilakukan penghentian penyidikan (SP3) oleh pihak kejaksaan negeri (Kejari) Halmahera Selatan, olehnya itu pihaknya mendesak kejaksaan agung (Kejagung) Republik Indonesia (Ri) agar dapat mengevaluasinya kinerja kepala kejaksaan negeri (Kejari) Halsel Ahmad Phatoni SH. Pintasnya. (Red)

LABUHA, Malutline – Kasus dugaan korupsi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Sarumah kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara yang disebut-sebut merugikan keuangan daerah bernilai belasan miliaran rupiah hingga kini belum ada titik terang.

Padahal, sejumlah pejabat tinggi bank daerah dan lingkup Pemda Halmahera Selatan telah diperiksa sejak Juni 2023 lalu, namun hingga hampir memasuki satu tahun, belum juga ada perkembangan dalam kasus tersebut.

Kasus yang pertama kali dibongkar oleh Mendiang Bupati Halmahera Selatan, Hi. Usman Sidik itu tampak redup usai Kejari memeriksa sejumlah saksi yang diduga terlibat dalam skandal BPRS Saruma.

Kasi Pidsus, Kejaksaan Negeri Labuha, Hendri Dunan, pernah di konfirmasi wartawan belum lama ini mengatakan pihaknya mengaku saat ini pihaknya masih menunggu proses perhitungan BPKP terkait kerugian negara dalam perkara tersebut. “Kita lagi berproses perhitungan BPKP,” akui Hendri.

Dia belum bisa memastikan kapan akan dilakukan penetapan tersangka dalam kasus yang melibatkan sejumlah pejabat di lingkup Pemkab Halsel dan pihak bank, “Kita belum tau juga kapan, kita sifatnya menunggu hasil, kalau untuk data sudah kita sampaikan dan klarifikasi sebagian sudah,” ujarnya.

Hendri berjanji akan mengumumkan secara terbuka dalam konferensi pers (ekspose) bersama dengan timnya saat penetapan tersangka digelar, “Nanti kita tunggu hasil, dan kita dari pihak kjari halsel juga akan dlakukan ekspose bersama dengan tim penyidik. untuk sementara waktu belum,” tutupnya.

Hal ini mendapat tanggapan keras dari Lembaga suwadaya masyarakat (LSM) Front Anti Korupsi Indonesia (FAKI) Provinsi Maluku Utara, Dani Haris Purnawan kamis (17/07/2025) mengatakan perkembangan proses hukum kasus kredit macet Bank BPRS Sarumah tersebut hingga kini belum dilakukan ekspose secara terbuka ke masyarakat Halmahera Selatan itu perlu di pertanyakan.

Dikatakannya berdasarkan sumber informasih dari pihak yang terpercaya di internal menyebutkan kalau kasus tersebut suda dilakukan penghentian penyidikan (SP3) oleh pihak kejaksaan negeri (Kejari) Halmahera Selatan, olehnya itu pihaknya mendesak kajaksan agung (Kejagung) Republik Indonesia (Ri) agar dapat mengevaluasinya kinerja kepala kejaksaan tinggi Maluku Utara dan kejaksaan negeri (Kejari) Halsel. Pintahnya. (Red)

Muat Lagi Berita